Senin, 18 Juli 2016

Bahaya Mendahulukan Pendapat Nenek Moyang dan Tokoh Masyarakat Di Atas Dalil



وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُوا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آَبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آَبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُونَ

Dan jika dikatakan kepada mereka, marilah kalian kepada apa yang Allah turunkan kepada Rasul, niscaya mereka berkata, cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami berada padanya. Apakah (mereka tetap bersikap demikian) meskipun bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk?” (QS. Al-Maidah: 104).


Termasuk penghalang 'ittiba yang terbesar adalah lebih mendahulukan pendapat atau ajaran nenek moyang, orang tua, para guru dan tokoh masyarakat daripada nash-nash yang shahih yang berasal dari Rasulullah. Padahal telah jelas tidak ada dasar (hujjah) bagi ajaran atau pendapat yang dia bela, bahkan ada yang bertentangan dengan apa yang diajarkan Rasulullah. Dengan alasan "selama itu baik, selama tidak merugikan, blablabla...", menjadikan dirinya mantap membela pemahaman yang salah itu. Subhanallah . . .

Padahal logikanya, siapa yang lebih ma'shum, apakah Rasulullah atau orang yang dia bela pendapatnya? Siapa yang telah dijamin masuk surga oleh Allah? 

Kalaulah hal itu baik, tentunya Rasulullah dan para sahabatnya sudah lebih dulu melaksanakannya. Karena telah dijelaskan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi di jaman Rasulullah, kemudian yang berikutnya, lalu berikutnya dan seterusnya.

Sungguh . . .
Apakah anda ingin mengatakan bahwa risalah yang Rasulullah bawa masih belum sempurna, sehingga harus anda sempurnakan dengan pendapat dan pemahaman nenek moyang, tokoh masyarakat, atau orangtua anda? Tidakkah anda tidak merenungkan firman Allah yang berbunyi 
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [Al-Maa-idah: 3]

Subhanallah...
Bukannya mengajarkan untuk tidak berbakti pada orangtua, namun kewajiban kita menaati orangtua hanya sebatas menaati perintahnya yang sesuai ajaran Islam. Bacalah kisah-kisah sahabat Rasulullah, ambillah teladan bagaimana mereka mempergauli orangtua mereka yang belum masuk Islam saat anaknya memeluk Islam, seperti Abu Hurairah, atau Abdullah bin Mas'ud. Demikianlah seharusnya kita meneladani mereka, yang akhlaknya jauh diatas akhlak orang-orang di jaman sekarang yang mengaku berilmu namun malah menyesatkan dan menyelisihi risalah yang dibawa oleh Rasulullah.

Asy-Syafi’i berkata, “Manusia telah bersepakat, barangsiapa yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, maka dia tidak boleh meninggalkannya karena perkataan/pendapat seorang manusia.” Dan telah shahih riwayat dari beliau bahwa beliau berkata, “Tidak ada hak berpendapat bagi seorangpun bersama adanya sunnah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Dan Ibnu Taimiyah memiliki perkataan yang sangat berharga tentang hal ini. Beliau berkata, “Agama Allah dibangun di atas pondasi ittiba’ (mengikuti) Kitabullah, sunnah Nabi-Nya dan kesepakatan umat ini. Maka tiga pondasi inilah yang terjaga (dari kesalahan-pen). Segala sesuatu yang diperselisihkan umat ini, mereka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada seorangpun yang berhak mengangkat seorang individu bagi umat ini yang dia dakwahkan jalannya, dia tegakkan sikap loyal dan permusuhan karenanya kecuali perkataan Allah dan RasulNya serta kesepakatan umat ini. Bahkan sikap ini adalah perbuatan ahlu bid’ah, yang mengangkat seorang individu bagi mereka atau mengangkat suatu perkataan untuk memecah belah umat. Mereka menyandarkan sikap loyal dan permusuhan mereka di atas perkataan atau jalan tesebut”

Saya tutup pembahasan ini dengan firman Allah Subhanahu wa ta'ala,

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
Pada hari ketika wajah-wajah mereka dibolak-balikkan di dalam neraka, mereka berkata, aduhai, seandainya dulu kita mentaati Allah dan Rasul. Mereka berkata, wahai Rabb kami, sesungguhnya kami (dahulu) mentaati tokoh-tokoh dan pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang lurus), wahai Rabb kami, berikanlah kepada mereka siksaan dua kali lipat dan laknatlah mereka dengan laknat yang besar” (QS. Al-Ahzaab: 66-68).

0 komentar

Posting Komentar